Jumat, 28 Januari 2011

Peran Akuntansi dalam Implementasi Good Corporate Governance

Konsep corporate governance (CG) sebenarnya sudah dikenal lama oleh manusia sejak manusia itu mulai terlibat dengan aktivitas bisnis. Hanya saja perspektif mengenai CG ini mengalami evolusi dari waktu ke waktu mengikuti tren yang terjadi dalam dunia bisnis (Ali, 2010). Istilah CG sendiri mulai diperkenalkan dalam tataran akademik melalui artikel yang ditulis oleh Bob Tricker pada tahun 1983 dengan judul Perspective on Corporate Governance: Intellectual Influences in the Exercise of Corporate Governance. Artikel tersebut banyak membahas isu-isu hangat yang berkaitan dengan CG, misalnya mengenai struktur dewan direksi, pengawasan dewan direksi terhadap manajemen, akuntabilitas, tanggung jawab sosial perusahaan, dan sebagainya.
Menurut Syaiful Ali (2010), topik CG mengalami empat tahap evolusi yaitu perkembangan di awal abad ke-20, perkembangan di era 1970-an, perkembangan di era 1980-an, perkembangan di era 1990-an, dan perkembangan di abad ke-21. Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1932 pembahasan mengenai pemisahan antara manajemen dan pemilik perusahaan sedang berkembang. Berle dan Means memperingatkan pemerintah dalam artikelnya mengenai akan adanya konflik kepentingan antara negara dengan perusahaan. Tulisan inilah yang mengilhami dibentuknya Security Exchange Commission (SEC) di Amerika Serkikat pada tahun 1934.
CG menurut OECD didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, kreditor, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain CG merupakan sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (Manurung, 2008). Konsep CG ini didasari oleh teori keagenan yang menjelaskan adanya pemisahan tanggung jawab antara agen (pihak yang diberi wewenang) dengan prinispal (pihak yang memberi wewenang). Pemisahan tanggung jawab ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara agen dan prinsipal. Sehingga CG lahir sebagai suatu perspektif yang bertujuan untuk memberikan penduan bagi para agen dalam menjalankan tanggung jawab yang diberikan oleh prinsipal.
Ada dua sistem implementasi CG, yaitu one-tier system dan two-tiers system. One-tier system banyak digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris. Sedangkan two-tiers system digunakan oleh negara-negara Eropa seperti Jerman dan Belanda, bahkan Indonesia pun sebagai warisan dari Belanda ikut menggunakan sistem yang kedua ini. Peran pengawas (dewan komisaris) dan pelaksana (dewan direksi/manajemen) dalam one-tier system dijadikan dalam satu wadah yang disebut dengan board of director (BOD). Sedangkan dalam two-tier system kedua peran tersebut dipisahkan (Ali, 2010). Indonesia mulai fokus pada CG sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Keterlibatan akuntansi dalam konsep CG ini diawali sejak munculnya berbagai skandal keuangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Arthur Andersen, dan lainnya. Di Indonesia sendiri melibatkan PT Kimia Farma atas mark-up laporan keuangan, dan ada juga kasus insider trading yang dilakukan oleh karyawan PT BCA pada tahun 2001. Berbagai kasus tersebut mencuat akibat adanya sistem tata kelola perusahaan yang buruk. Peran akuntansi tidak terlepas dari masalah-masalah tersebut karena akuntansi merupakan bahasa bisnis. Artinya, akuntansi bertanggung jawab dalam memberikan informasi yang relevan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itu, peran akuntan dalam mewujudkan good corporate governance (GCG) juga melekat dengan penerapan kelima prinsip GCG tersebut. Terkait dengan prinsip kewajaran (fairness), suatu informasi akuntansi disebut wajar apabila disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum di Indonesia. Tingkat kewajaran tersebut berasal dari opini yang diberikan oleh akuntan publik, dalam hal ini auditor, berdasarkan petimbangan profesional mereka. Prinsip ke dua, yaitu akuntabilitas melibatkan peran akuntan yang ada di posisi komite audit. Komite audit bertugas melindungi kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan atas reliabilitas dan integritas laporan keuangan perusahaan. Prinsip GCG berikutnya adalah transparansi. Prinsip ini menekankan pada kualitas informasi yang disajikan perusahaan. Untuk itu informasi yang ada dalam perusahaan harus diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku (Arifin, 2005).
Prinsip GCG yang ke empat yaitu responsibility, prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu dengan cara mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan. Akuntansi berperan untuk menetapkan standar yang dapat mengakomodasi masalah ini, yaitu menetapkan PSAK 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam PSAK tersebut disebutkan bahwa perusahaan dapat menyajikan laporan tambahan yang menjelaskan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya. Peran akuntan untuk menegakkan prinsip ini semakin berkembang dengan adanya Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Bapepam, BEJ, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Forum for Corporate Governance in Indonesia pada bulan Juni 2005. Prinsip yang terakhir adalah indpendensi, masalah independensi merupakan fokus utama bagi para akuntan publik atau auditor eksternal. Untuk dapat terlibat dalam keempat prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, hal pertama yang harus diperhatikan oleh akuntan adalah masalah independensi. Meskipun akuntan tersebut dipekerjakan oleh manajemen perusahaan, tetapi tanggung jawab mereka adalah kepada masyarakat umum. Sehingga akuntan memiliki kode etik profesi untuk menjaga profesionalitas mereka dalam berkarir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar